Sebagai software engineer, memahami arsitektur software adalah kunci untuk membangun aplikasi yang scalable, rapi, dan mudah dikembangkan. Mulai dari monolithic, microservices, hingga clean architecture—artikel ini membahas arsitektur penting yang wajib kamu kuasai untuk meningkatkan skill dan karier di dunia engineering.

proyek tumbuh semakin besar dan kompleks, kemampuan memahami software architecture menjadi penentu apakah aplikasi akan tetap cepat, mudah dikembangkan, atau justru berubah menjadi “tech debt” yang menyulitkan.
Dalam artikel ini, kita akan membahas arsitektur-arsitektur penting yang wajib dipahami oleh software engineer modern. Mulai dari konsep dasar hingga pendekatan yang digunakan perusahaan teknologi besar, semua akan dijelaskan dengan cara yang sederhana dan mudah diikuti.
Monolithic Architecture adalah arsitektur paling klasik dan sederhana dalam dunia software development. Pada pendekatan ini, seluruh bagian aplikasi — mulai dari UI, API, business logic, hingga akses database — digabungkan dalam satu codebase besar dan biasanya dideploy sebagai satu aplikasi tunggal.
Bayangkan sebuah “bangunan utuh” tanpa pembagian ruangan yang jelas. Semua komponen berada dalam satu tempat dan saling terhubung erat.

Monolith sebenarnya bukan sesuatu yang buruk. Bahkan banyak startup teknologi besar memulai dari arsitektur ini karena:
1.Proyek kecil atau MVP (Minimum Viable Product)
Saat tujuan utama adalah launch cepat, monolith adalah pilihan terbaik. Kamu tidak perlu membuat banyak service atau pipeline yang rumit.
2. Tim masih sedikit
Dengan developer yang terbatas, membuat microservices justru membebani karena butuh DevOps, CI/CD per service, dan komunikasi antar-service.
3. Deployment ingin cepat dan sederhana
Satu aplikasi, satu server, satu proses deployment. Sangat ideal untuk tim kecil yang ingin fokus pada fitur.
1. Mudah Dibuat & Dipahami
Struktur sederhana memungkinkan developer baru cepat memahami alur aplikasi. Semua ada dalam satu tempat.
2. Deployment Lebih Gampang
Cukup build & deploy satu package. Tidak perlu mengatur banyak service atau komunikasi via network.
3. Performa Awal Lebih Stabil
Karena semua komponen berjalan dalam satu proses, tidak ada overhead network seperti pada microservices.
4. Cocok untuk Tahap Awal Startup
Hampir semua startup besar memulai dengan monolith, termasuk Twitter, Shopify, dan GitHub. Scalability bisa dipikirkan nanti saat traffic naik.
Namun, ketika aplikasi tumbuh lebih besar, monolith mulai menunjukkan tantangannya:
1. Sulit Dirawat Saat Aplikasi Makin Besar
Semua fitur bercampur dalam satu codebase. Perubahan di satu bagian bisa berdampak ke bagian lain.
Efeknya:
Build time makin lama
Risk konflik antar developer meningkat
Sulit memisahkan tanggung jawab
2. Skalabilitas Terbatas
Jika satu fitur membutuhkan scaling, kamu harus menscale seluruh aplikasi, yang boros biaya dan resource.
3. Risiko “Big Ball of Mud”
Istilah ini menggambarkan kode yang berantakan, tidak terstruktur, dan sulit disentuh karena tidak ada pemisahan modul yang jelas.
4. Deployment Berisiko Tinggi
Karena satu aplikasi besar, kesalahan kecil bisa membuat seluruh sistem down.
Monolith adalah pilihan terbaik untuk memulai. Namun, seiring pengguna bertambah dan fitur semakin kompleks, kamu mungkin perlu mempertimbangkan transisi ke arsitektur lain seperti modular monolith atau microservices.
Microservices Architecture adalah pendekatan di mana sebuah aplikasi besar dipecah menjadi kumpulan layanan kecil (services) yang masing-masing memiliki fungsi spesifik, berjalan secara independen, dan berkomunikasi menggunakan protokol ringan seperti HTTP atau message broker (Kafka, RabbitMQ, NATS).
Setiap service berdiri sendiri—punya kode, database, deployment, dan scaling-nya masing-masing.
Bayangkan seperti membangun kota yang terdiri dari banyak rumah kecil, bukan satu gedung besar.
Kapan Microservices Cocok Digunakan?
Microservices biasanya cocok untuk aplikasi yang mulai tumbuh besar dan memiliki kebutuhan kompleks.
Jika aplikasimu memiliki banyak domain (auth, payment, order, warehouse, analytics), memisahkannya ke layanan kecil mempermudah pengembangan dan perawatan.
Service yang sering terkena traffic tinggi (contoh: order-service) dapat di-scale tanpa mengganggu bagian lain.
Setiap tim dapat fokus pada satu service, tanpa konflik merge atau menunggu service lain selesai.
Ini sebabnya perusahaan besar seperti Netflix, Amazon, Gojek, dan Tokopedia memakai arsitektur ini.
Karena service terpisah, kamu dapat melakukan scaling hanya pada bagian yang membutuhkan.
Contoh: hanya search-service yang di-scale saat trafik besar.
Ini lebih efisien dan hemat biaya dibanding scaling seluruh aplikasi monolith.
Setiap service dapat di-deploy kapan saja tanpa harus menunggu service lain.
Keuntungan ini membuat:
Release lebih cepat
Bug fix lebih cepat
CI/CD lebih terkontrol
Misalnya, kamu bisa update payment-service tanpa menyentuh inventory-service.
Setiap service bisa ditulis dengan bahasa atau framework berbeda.
Contoh:
Payment → Go
Notification → Node.js
Reporting → Python
Selama punya API yang konsisten, semua bisa bekerja sama.
Jika satu service error, tidak langsung membuat seluruh aplikasi down.
Contoh: error di email-service tidak mengganggu order-service.
Meski powerful, microservices tidak gratis—ada biaya kompleksitas.
Karena semuanya terpisah, kamu harus mengelola:
Networking antar-service
API gateway
Observability (log, trace, metrics)
Circuit breaker
Retry policy
Message broker
Tanpa pengalaman, sistem mudah menjadi chaos.
Satu request bisa melewati 5–10 service sebelum selesai.
Untuk debugging, harus melacak alurnya dengan distributed tracing seperti:
Jaeger
Zipkin
OpenTelemetry
Ini menambah learning curve.
Microservices memerlukan:
CI/CD per service
Containerization (Docker)
Kubernetes / ECS
Load balancing
Service discovery
Kalau DevOps belum siap, microservices sering justru menghambat produktivitas.
Komunikasi antar-service berarti lebih banyak:
Latency
Network failure
Timeout
Error handling
Ini membuat arsitektur menjadi lebih sensitif.
Microservices sangat cocok untuk aplikasi besar yang ingin scalable dan dikembangkan banyak tim, tetapi juga membutuhkan pondasi teknis yang kuat. Jika struktur DevOps dan observability belum siap, microservices justru bisa lebih mempersulit dibanding membantu.
Event-Driven Architecture (EDA) adalah arsitektur di mana alur kerja sebuah aplikasi digerakkan oleh event. Event di sini bisa berupa apa saja: user melakukan pembayaran, produk kehabisan stok, user melakukan login, atau transaksi sukses.
Setiap event dikirim ke sebuah sistem perantara (event broker) seperti Kafka, RabbitMQ, atau NATS, lalu service lain akan subscribe dan merespons event tersebut.
Bayangkan seperti notifikasi di dunia nyata: ketika ada pintu terbuka, alarm menyala; ketika pembayaran sukses, email terkirim. Semua terjadi otomatis oleh event.
Kapan EDA Cocok Digunakan?
Cocok untuk aplikasi yang butuh data langsung saat peristiwa terjadi:
Chat apps
Notifikasi realtime
Tracking pengiriman (seperti Gojek / Grab)
Jika sistem harus menangani jutaan transaksi sekaligus, EDA sangat efektif.
Contoh alur kompleks:
Order dibuat → stok berkurang → hitung ongkir → kirim email → kirim invoice → kirim notifikasi.
Semua ini bisa dijalankan otomatis dengan event tanpa saling menunggu.
Karena setiap service merespons event secara independent, EDA bisa menangani traffic sangat tinggi.
Itulah sebabnya Netflix, Uber, Tokopedia, dan Gojek menggunakan EDA di layer internalnya.
Service tidak saling bergantung.
Order-service cukup publish event tanpa tahu siapa yang mendengarkan.
Ini membuat sistem:
Mudah dikembangkan
Mudah ditambah fitur baru
Lebih stabil
Event broker seperti Kafka bisa menangani jutaan event per detik.
Cocok untuk sistem besar yang harus merespons cepat.
Jika ingin menambahkan “send sms setelah payment sukses”, cukup subscribe event payment.success tanpa ubah service lain.
Tidak perlu sentuh payment-service!
Karena alur berpindah antar service melalui event, debugging bisa jadi seperti mencari jarum dalam jerami.
Contoh:
Event masuk → dikonsumsi service A → publish event baru → dikonsumsi service B → dan seterusnya.
Butuh Distributed Tracing yang kuat.
Event bisa menumpuk jika:
Ada service down
Event broker overload
Event tidak terkonsumsi
Perlu monitoring seperti:
Prometheus
Grafana
Jaeger
Jika terlalu banyak event, sistem menjadi sulit dipetakan.
Tanpa desain yang matang, EDA bisa berubah menjadi arsitektur yang chaos.
Event-Driven Architecture cocok jika sistemmu membutuhkan:
Realtime processing
Skalabilitas tinggi
Alur kerja kompleks
Performa besar
Tapi harus siap dengan monitoring, logging, tracing, dan tim DevOps yang mengerti event pipeline.
Clean Architecture adalah pendekatan arsitektur yang bertujuan membuat aplikasi lebih rapi, scalable, mudah diuji, dan tidak bergantung pada teknologi tertentu.
Arsitektur ini dipopulerkan oleh Uncle Bob (Robert C. Martin) dan sangat populer di kalangan developer modern—baik backend, frontend, hingga mobile.
Konsep utamanya sederhana:
Pisahkan kode yang “ingin berubah” dari kode yang “tidak boleh berubah”.
Clean Architecture mengutamakan pemisahan antara business logic dan hal-hal teknis seperti database, UI, atau API.
Struktur Umum Clean Architecture
Biasanya terdiri dari beberapa lapisan:
Berisi rule bisnis murni (Business Logic)
Tidak boleh tergantung teknologi
Contoh: User, Order, Product
Mengatur alur bisnis
Tempat aturan “apa yang boleh dan tidak boleh”
Contoh:
CreateOrderUseCase
ValidatePaymentUseCase
LoginUseCase
Berisi implementasi teknologi
Contoh:
HTTP client
Database repository
File storage
External service
Lapisan ini boleh berubah-ubah tanpa mengganggu domain.
Tempat view atau controller
Web → React / Next.js
Mobile → SwiftUI / React Native / Flutter
Backend → REST Controller / GraphQL Resolver
UI hanya “memanggil use case”, bukan menjalankan logic bisnis.
Aplikasi yang akan terus berkembang selama bertahun-tahun.
Misalnya:
POS System
Ecommerce
Billing / Subscription
Financial System
Management System
Clean Architecture memberi struktur jelas yang membuat orang baru mudah beradaptasi.
Karena business logic terpisah, unit test dan integration test jauh lebih mudah dibuat.
Struktur dipisah jelas, jadi perubahan tidak merusak bagian lain dengan mudah.
Ganti database?
Ganti UI?
Migrasi dari REST ke GraphQL?
Semua bisa dilakukan tanpa menyentuh domain.
Karena domain terisolasi, kamu bisa melakukan unit test tanpa fake DB atau mock API yang berat.
Saat project tumbuh, Clean Architecture menjaga struktur agar tetap teratur.
Membuat folder domain, use cases, repository interface, dan infrastruktur butuh waktu.
Untuk aplikasi kecil atau MVP, Clean Architecture bisa terasa “terlalu besar”.
Harus konsisten agar boundary antar-layer tidak bercampur.
Clean Architecture cocok untuk developer yang ingin menulis kode:
rapi
terstruktur
scalable
mudah di-maintain
mudah di-test
Arsitektur ini sangat relevan untuk engineer modern, terutama jika kamu membangun aplikasi besar seperti POS, e-commerce, atau sistem keuangan.
Hexagonal Architecture—juga dikenal sebagai Ports and Adapters—adalah arsitektur yang berfokus pada memisahkan bisnis inti (domain) dari dunia luar seperti database, UI, API, atau service eksternal.
Arsitektur ini diperkenalkan oleh Alistair Cockburn dan sangat populer dalam sistem modern yang ingin mencapai high maintainability dan testability.
Inti dari Hexagonal Architecture adalah:
Aplikasi harus bisa berjalan tanpa ketergantungan pada teknologi eksternal.

Hexagonal disebut “hexagonal” bukan karena harus 6 sisi, tetapi karena diagramnya sering digambar seperti bentuk segi enam untuk memudahkan visualisasi.
Struktur umumnya terbagi menjadi:
Ini adalah pusat aplikasi—berisi aturan dan logika bisnis utama yang tidak boleh bergantung pada hal eksternal.
Contoh:
Cara menghitung diskon
Validasi pembuatan order
Aturan stok produk
Domain adalah jantung aplikasi.
Ports adalah interface yang mendefinisikan bagaimana domain berbicara dengan dunia luar.
Domain tidak tahu apa itu database, HTTP, atau file system — yang domain tahu hanya “ini fungsi yang aku butuhkan”.
Contoh:
OrderRepositoryPort
PaymentGatewayPort
NotificationPort
Ports menjaga domain tetap pure.
Adapters adalah implementasi dari Ports.
Contoh:
Adapter untuk PostgreSQL
Adapter untuk REST API
Adapter untuk Email Provider
Adapter untuk Kafka Consumer
Jadi kalau ada perubahan teknologi, cukup ganti adapter tanpa mengubah domain.
POS, ERP, sistem keuangan, e-commerce besar.
Contoh:
Payment gateway
Third-party API
Message broker
Hexagonal membuat integrasi ini tetap rapi.
Karena domain tidak tergantung teknologi, testing tinggal mock ports.
Ganti database?
Ganti API provider?
Tambah event listener?
Semua bisa dilakukan tanpa menyentuh domain.
Domain tetap bersih, adapter boleh kotor.
Ini membuat kode mudah dipahami dan dirawat.
Contoh kasus nyata:
Pindah dari MySQL → MongoDB → PostgreSQL
Pindah dari REST → GraphQL
Pindah dari SMTP → SendGrid
Cukup ganti adapter, domain tetap aman.
Domain bisa dites tanpa database.
Unit test menjadi:
lebih cepat
lebih ringan
tidak butuh environment berat
Hexagonal sering menjadi fondasi microservice modern karena desainnya modular dan terisolasi.
Untuk aplikasi kecil, folder ports & adapters terasa overkill.
Jika adapter mulai masuk ke domain, arsitektur rusak total.
Developer baru sering bingung:
Mana port?
Mana adapter?
Kenapa harus interface dulu?
Namun setelah terbiasa, arsitektur ini sangat powerful.
Hexagonal Architecture sangat cocok jika kamu ingin aplikasi yang:
fleksibel
scalable
modular
mudah di-maintain
mudah diganti teknologinya
mudah di-test
Tidak heran banyak enterprise modern menggunakannya, terutama untuk sistem penting seperti pembayaran, order management, dan inventori.
Arsitektur ini berfokus pada event sebagai pusat komunikasi antar layanan. Setiap perubahan, aksi, atau kejadian dalam sistem akan menghasilkan event yang kemudian dikonsumsi oleh layanan lain. Cocok untuk sistem yang membutuhkan real-time processing dan high decoupling.
Apa itu Event-Driven Architecture?Bayangkan setiap modul dalam aplikasi seperti “orang” di ruangan yang hanya bereaksi ketika mendengar informasi penting. Mereka tidak saling bertanya atau saling tunggu — mereka hanya merespons event ketika event itu terjadi.
Misalnya:
User melakukan pembayaran → Event “PaymentCompleted” diterbitkan
Layanan lain (email, inventory, invoice) masing-masing bereaksi terhadap event itu tanpa harus saling mengenal
Aplikasi real-time (fintech, IoT, logistics, tracking)
Sistem besar dengan banyak domain
Flow bisnis membutuhkan reaksi otomatis dan cepat
Aplikasi yang ingin meminimalkan ketergantungan antar layanan (low coupling)
1. Sangat scalable
Karena layanan tidak saling menunggu dan event bisa diproses paralel, EDA sangat cocok untuk traffic tinggi.
2. Loose coupling
Setiap layanan hanya peduli pada event, bukan siapa pengirimnya. Ini meningkatkan fleksibilitas dan memudahkan perubahan arsitektur.
3. Real-time & cepat
Event langsung diproses saat terjadi, ideal untuk dashboard real-time, notifikasi, tracking status, dsb.
4. Mudah menambah fitur baru
Tinggal tambahkan service baru yang mendengarkan event terkait tanpa harus ubah service lama.
1. Debugging lebih sulit
Flow tidak linear → Anda harus menelusuri jejak event melalui banyak service.
2. Membutuhkan message broker
Seperti Kafka, RabbitMQ, AWS SNS/SQS → menambah layer infrastruktur.
3. Risiko event hilang atau duplikasi
Harus ada strategi retry, idempotency, dan event consistency.
Gojek / Grab: setiap aksi pengguna (pesan makanan, bayar, driver update lokasi) menghasilkan event.
E-commerce besar: pembayaran → inventory update → invoice → email → pengiriman, semuanya berbasis event.
Banking modern: monitoring transaksi suspicious (fraud detection) secara real-time.
Serverless bukan berarti “tanpa server”, tetapi developer tidak perlu lagi mengelola server secara manual. Kamu cukup menulis fungsi, lalu platform seperti AWS Lambda, Google Cloud Functions, atau Vercel akan menjalankannya secara otomatis sesuai kebutuhan.
Apa itu Serverless Architecture?
Pada arsitektur ini, alur utamanya adalah:
Kamu menulis function (misalnya createUser, generateReport)
Function tersebut dijalankan hanya ketika diperlukan (on-demand)
Cloud mengurus semua hal teknis:
scaling
load balancing
security patch
provisioning server
Kamu hanya fokus di logic – tidak lagi repot memikirkan server up/down.
Aplikasi dengan traffic tidak stabil atau sering naik turun
Startup/MVP yang ingin go-live cepat tanpa biaya server besar
Backend kecil berbasis API endpoint
Sistem otomatisasi (cron, scheduled task)
Aplikasi event-driven
Bayar hanya saat function dipanggil. Tidak ada biaya idle. Sangat efisien untuk startup dan MVP.
Traffic naik mendadak? Function akan otomatis membuka instance baru dalam hitungan milidetik.
Kamu cukup deploy function — tidak ada restart server, tidak ada downtime.
Developer tidak perlu memikirkan OS update, server crash, atau scaling manual.
Function yang jarang dipanggil bisa membuat respon lambat pada panggilan pertama.
Sulit memvisualisasikan hubungan antar function jika jumlahnya ratusan.
Aplikasi sangat tergantung pada penyedia cloud (AWS/GCP/Azure).
Serverless lebih bagus untuk event-based, bukan aplikasi yang butuh koneksi persistent (misalnya real-time socket scale besar).
Vercel menjalankan Next.js API Routes dan Cron Jobs dengan Serverless.
Netflix menggunakan AWS Lambda untuk encoding video otomatis.
Airbnb memproses gambar dengan Cloud Functions.
Fintech menggunakan serverless untuk fraud detection secara event-driven.
Arsitektur klasik yang paling banyak dipakai di perusahaan enterprise.
Layered Architecture membagi aplikasi menjadi beberapa lapisan terstruktur. Setiap layer memiliki tanggung jawab yang jelas dan hanya boleh berkomunikasi dengan layer di bawahnya.
Lapisan Utama:
Presentation Layer → UI / request handler
Business Logic Layer → aturan bisnis
Data Access Layer → query ke database
Database Layer → penyimpanan data
Layered Architecture membantu aplikasi tetap terstruktur, mudah dianalisis, dan mudah di-maintain, terutama saat tim masih kecil atau medium.
Aplikasi corporate, admin panel, atau backend standar
Proyek dengan aturan bisnis stabil
Tim kecil yang membutuhkan struktur sederhana
Aplikasi yang tidak perlu skalabilitas ekstrem
Mudah dipahami & dipelajari
Struktur rapi dan jelas
Cocok untuk berbagai bahasa (Java, Node.js, PHP, .NET, Go)
Mudah dibuatkan unit test per layer
Kurang fleksibel saat aplikasi makin besar
Flow komunikasi cenderung kaku
Risiko tight coupling antar layer
Tidak ideal untuk high scalability atau microservices
Sistem HR / payroll
Backend perusahaan BUMN atau enterprise
Sistem internal bank
Proyek kampus yang masih sederhana
Mirip microservices, tapi untuk frontend.
Alih-alih satu frontend besar dalam satu repo, aplikasi dipecah menjadi modul-modul kecil yang bisa dikembangkan tim berbeda secara paralel.

Modul Dashboard
Modul Checkout
Modul Chat
Modul Admin Setting
Setiap modul bisa punya repo sendiri, CI/CD sendiri, bahkan framework sendiri.
Karena frontend modern semakin besar dan kompleks. Micro frontend memecahnya agar:
tim tidak saling mengganggu
development lebih cepat
scaling organisasi lebih mudah
Perusahaan besar dengan banyak tim frontend
Aplikasi berskala enterprise
Web dashboard besar (ERP, SaaS, e-commerce)
Sistem yang butuh pengembangan paralel
Tim bisa bekerja tanpa blocking
Mudah rewrite modul tertentu
Deployment per modul → lebih cepat
Arsitektur fleksibel ( React + Vue dalam satu aplikasi pun bisa )
Setup kompleks (module federation, build orchestration)
Risiko duplikasi library → size besar
Potensi UX tidak konsisten jika design system tidak kuat
Routing antar modul lebih rumit
Amazon
Shopee Web Platform
Spotify Web
Dashboard ERP besar
Bukan arsitektur, tetapi mindset membangun software berdasarkan domain bisnis.
DDD fokus pada memahami bisnis secara mendalam bersama domain expert, kemudian memodelkan aplikasi berdasarkan kenyataan bisnis tersebut.

Bounded Context → memecah domain besar jadi area kecil
Aggregate
Entity & Value Object
Ubiquitous Language → bahasa yang sama antara dev & bisnis
Domain Events
Sistem besar seperti e-commerce, ERP, fintech, dan POS membutuhkan struktur domain yang rapi. DDD membantu:
mengurangi kerumitan
menjaga kode tetap scalable
membuat perubahan bisnis lebih mudah
Proyek besar dengan banyak aturan bisnis
Sistem dengan domain kompleks (inventory, payment, catalog, logistics)
Perusahaan dengan banyak tim engineering
Software yang terus berkembang selama bertahun-tahun
Aplikasi lebih stabil jangka panjang
Perubahan bisnis mudah diakomodasi
Developer & bisnis punya persepsi sama
Cocok dipadukan dengan Clean Architecture, Hexagonal, dan Microservices
Butuh waktu untuk belajar
Harus sering diskusi dengan domain expert
Tidak cocok untuk aplikasi kecil (overkill)
ERP (SAP, Odoo, Microsoft Dynamics)
Fintech & e-wallet
E-commerce seperti Tokopedia & Amazon
Platform POS & restoran multi-cabang
(Cocok untuk Tablelink yang sedang kamu bangun!)